Wednesday, February 20, 2013

Kitab Nyekhupa


Kelak, anak cucu akan mengenang kami sebagai sekumpulan lelaki yang bermunculan dari balik pohon Sekala. Pernyataan itu seolah-olah hendak menandaskan bahwa kami tak beda dengan segerombolan lelembut yang muncul begitu saja tanpa sebab musabab yang jelas. Tentu saja perihal kemunculan kami itu dibumbui dengan pelbagai hikayat yang dikurangi atau ditambahkan demi kepentingan-kepentingan tertentu. Akhirnya wujudlah kisah-kisah tentang kami berempat serupa dongeng ajaib negeri seribu satu malam.
Aku, Nyekhupa, dipercaya mampu merubah wujud dalam sesaat, bergantung keadaan dan keperluan. Pernong diyakini bisa melompati bukit terjal dalam sekejap mata. Belunguh disebut-sebut sanggup terbang tanpa jeda dari gunung Pesagi ke gunung Seminung. Kemudian Lapah di Way diriwayatkan pernah menundukkan penyembah berhala yang menantangnya berjalan di air. Para penyembah berhala itu pun takluk dan kontan memeluk ajaran Jalan Yang Lurus setelah Lapah di Way dengan tenangnya menyeberangi Way Semaka dalam sekali tempuh. Sejak saat itu saudara kami yang sebenarnya pendiam ini dikenal dengan sebutan Lelaki Yang Berjalan di Atas Air. Mengenai betul tidaknya dongeng-dongeng itu, kami berempat bersepakat menyerahkan kepada keyakinan dan alam pikir anak cucu di masa depan. 
Prajurit Kerajaan
Sebagian besar dari anak cucu kemudian menyebut kami sebagai pembaharu dan pembawa Risalah Allah ke Tanah Bumi Sekala Bgha. Negeri yang sebelumnya tertutupi oleh kegelapan dan jahiliyah semata. Mereka yang termasuk golongan ini percaya bahwa mukjizat Allah sendiri yang membawa kami ke negeri Tempat Bersemayam Para Dewa. Sementara sebagian kecil justru menganggap kami sebagai petualang dan penyamun yang dengan tega hati dan tidak berperikemanusiaan telah menggulung sebuah Tamadun purba hingga ke akar-akarnya. Kami terima prasangka-prasangka itu. Tak sekali pun kami berniat menyanggah atau mengamini berbagai tuduhan dan pujian tersebut. Seperti permasalahan kisah-kisah mistik seputar kami berempat, kami pun telah bersepakat biarlah sejarah kelak membuktikan siapa di antara mereka yang benar. Bagi kami bekerja keras sebagai penyebar Risalah Sang Nabi adalah jauh lebih penting dibanding terjebak dalam perdebatan kusir yang tak perlu.
           
Beratus-ratus tahun lagi anak cucu hanya akan mengenal sekelumit tentang diriku, Umpu Nyekhupa. Riwayat lelaki yang pandai bertukar rupa terdengar lamat-lamat diwariskan dari mulut buyut kepada cucu buyut, kakek kepada cucu atau ayah kepada anak-anaknya. Hikayat tentang diriku terdengar mistis dan mengangkangi pola pikir yang sehat. Semua itu berawal dari pewarisan kisah diriku yang terjadi secara sepotong-sepotong. Mereka, orang-orang pertama yang mengenalku dan mewariskan kisahku kepada temurun tak terhingga, adalah bekas hamba sahaya yang kubebaskan dari perhambaan Ratu Sekeghumong. Setelah pembebasan pekon-pekon hamba sahaya di Bahway dan Haukh Kunjekh yang penuh kisah keperwiraan itu, mereka lantas memuja diriku dan ketiga saudaraku setinggi langit. Mereka menempatkan kami berempat seumpama dewa-dewa penguasa puncak gunung Pesagi. Tak tahukah mereka bahwa kami sama sekali membenci perilaku-perilaku tolol itu! Praktek-praktek bid’ah dan khurafat gaya baru! Dari mulut para hamba sahaya yang goblok dan terbelakang itu kemudian lahirlah kisah-kisah primitif dan mistik tentang kami berempat. Demi meluruskan riwayat yang terlanjur bengkok maka, perlu kiranya kutulis sebuah kitab sederhana. Demi menyehatkan alam pikir anak cucu di masa depan mesti kutulis sebuah wasiat. Sekedar pengingat perihal diriku yang fana dan tak kekal. Perihal Nyekhupa yang pasti mati dan bukan titisan dewata.
* * * * *
KETAHUILAH bahwa nama asliku adalah Imam Maulana Ibn Maulana Yamiza Rahmat, putra Kana’an kelahiran Peureulak Darussalam. Konon, nenek moyangku merupakan jurai lurus Dinasti Syahir Nuwi yang berkuasa di Syam dan Kana’an beratus tahun dahulu. Walaupun sebenarnya mereka bukan pula penduduk asli kedua tempat itu melainkan berasal dari Baghdad Utara. Manakala nenek moyangku yang asal berasal dari Yatsrib, kota dimana Nabi Allah Lelaki Mulia dan Terpuji dimakamkan. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu kakekku, Maulana Mamelar Paksi, tiba di Peureulak Darussalam bersama beberapa orang anak dan menantunya yang mana dua orang di antaranya ialah kedua orang tuaku. Saat itu ayahku masih belia dan baru saja menikah dengan ibuku. Pendeknya, mereka berdua masih terbilang pengantin baru dan tengah asyik mereguk manisnya madu perkawinan. Setelah kakekku wafat, ayahku menggantikan peran ayahnya menjadi seorang mubaligh di Peureulak. Beliau, orang-orang di negeri Sekala kemudian hari mengenalnya dengan sebutan Maulana Penggalang Paksi, berkeliling ke seluruh penjuru negeri Peureulak hingga Lamuri dan Pasai untuk menyiarkan ajaran Jalan Yang Lurus.

Walau Sultan Peureulak telah memeluk Jalan Yang Lurus sejak masa nenek moyangnya hampir 250 tahun silam akan tetapi bukan perkara mudah menyebarkan Risalah Allah di negeri paling utara di pulau Swarnadwipa ini. Ajaran Jalan Yang Lurus hanya dipeluk oleh sebagian besar ningrat Peureulak dan kelompok menengahnya. Selama 250 tahun terakhir rakyat di kampung-kampung yang jauh dari Ibu Negeri Peureulak kekal memeluk ajaran leluhur yang memuja batu dan pokok. Itulah pula yang menjadi tantangan hebat bagi ayahanda Maulana Penggalang Paksi. Beliau mesti berteguh hati menghadapi cibiran penyembah berhala yang meragukan Allah Ta’ala yang tak nampak.

“Tak sudi kami menyembah dewa Allah-mu yang tak berwujud!”, bidas salah seorang penyembah berhala di Lamuri. Tapi Ayahanda tak hirau. Bersama saudaraku Pernong mereka berdua malah pernah menembus rimba raya demi menyiarkan Risalah Allah kepada masyarakat barbar pemakan manusia. Entah keajaiban apa yang diturunkan Allah kepada keduanya, suku barbar itu bukan saja urung menyembelih mereka berdua tetapi juga berhasil ditaklukkan dan dengan rela hati memeluk ajaran Jalan Yang Lurus. Maha Suci Allah Dengan Segala Firman-Nya!
            * * * * *
SEBENARNYA aku dan Ayahanda Maulana Penggalang Paksi telah tiba di Negeri Sekala Bgha[1]belasan tahun sebelum kami berlima, dengan izin Allah semata, akhirnya berhasil merobohkan kuasa angkuh Ratu Sekeghumong si Perempuan Penunggang Harimau yang brutal dan bengis. Waktu itu kekuasaan sang ratu masih begitu kokoh dan berwibawa. Kuingat bagaimana Sekeghumong dengan menunggang harimau kesayangannya rajin menyapa rakyatnya di pekon-pekon. Para jelata menyambut dengan tengadah sambil berdecak kagum. Mereka tak sanggup sembunyikan haru dan bahagia kala menyambut kedatangan junjungan mereka itu. Ada air mata yang tulus mengalir ketika mereka saksikan betapa penguasa Sekala Bgha sudi meluangkan waktunya demi menjenguk penghidupan rakyatnya di pelosok terjauh dari Ibu Negeri Bunuk Tenuagh[2]. Namun ada juga pesona kekaguman yang diikuti ngeri jeri ketakutan pada harimau raksasa tunggangannya. “Harimau sebesar itu sanggup menelan kerbau dalam sekali kunyah!”, bisik suara jelata nyaris terpekik.

Takdir Ilahi berkata lain. Kisah kehidupan kami berdua disana tak lama, hanya beberapa purnama saja. Itu semua berasal dari kekeliruan dan kenakalanku. Pada suatu siang yang terik, tak biasanya cuaca dataran tinggi Sekala Bgha seterik saat itu, Pangeran Umpu Betawang, suami Ratu Sekeghumong memanggilku.

“Hei benatat[3] berhidung tinggi, aku lapar. Masakkan untukku babi panggang. Cepat! Perutku tak bisa menunggu lebih lama!” Lihatlah betapa congkak dan ketusnya ia memanggilku dengan sebutan paling hina, bentat. Sejak bila ia berhak mengelompokkan diriku bersama hewan pemetik buah kelapa? Ayahandaku pun tak pernah memperlakukanku bak binatang. Tak hendak kuturuti pula perintahnya memanggang babi kesukaannya, hewan yang diharamkan Sang Nabi. Tak sudi kuturunkan derajatku sebagai pengikut Jalan Yang Lurus hanya demi menyenangkan iblis yang berdiam di perutnya. Maka, ku masakkan daging sapi panggang sebagai penggantinya. Sengaja pula kurebus daging itu dengan ramuan lada hitam, jahe dan kunyit sebagai penyedap agar aromanya tak beda dengan babi panggang kesukaannya. Itulah bumbu masak kesukaan Umpu Betawang yang konon dapat menambah keperkasaan kelaminnya sebagai lelaki. Ia selalu memerintahkan juru masak Lamban Dalom menambahkan bumbu itu bila memasak ayam, daging kambing, daging sapi, daging kerbau, daging itik apalagi daging babi kesukaannya. Kali ini aku tak sepatuh yang ia kira. Keimananku kepada Allah dan Nabi-Nya menolak perintahnya selaku pangeran kafir. Kusuguhi daging sapi panggang yang ku susun sedemikian rupa bagai daging babi panggang kesukaannya. Sempat kulihat senyumnya yang licik dan sombong itu. Bibirnya tersenyum simpul tapi matanya kekal mengejekku.
“Terima kasih benatat berhidung tinggi”, ketusnya dengan hinaan yang tak berkurang sedikitpun.
 Jahanam! Ia berterima kasih sambil tetap menghinaku sebagai benatat.
 Sudah sakit jiwa-kah engkau pangeran semanda[4]? Aku tak hirau. Setelah menghidangkan makanan itu aku pun gegas meminta diri dan kembali ke dapur. Lamat-lamat kudengar kecap mulutnya bagi suara sesap mulut anjing kelaparan. Tak lama suara kecap mulutnya terdengar, kemudian berubah menjadi sumpah serapah nan membahana menembus seisi Lamban Dalom Sekala Bgha.
 “Benatat berhidung tinggi kemari kau! Ini bukan daging babi panggang yang kupinta. Daging apa ini cecunguk kecil?”
 Dengarlah lolongannya bagai anjing hutan kelaparan yang menggonggong di malam bulan purnama.
 Aku pun tergopoh-gopoh menghampirinya.
 “Beribu ampun Pun Beliau Pangeran, itulah daging babi panggang yang Pun Beliau pesan”, suaraku memelas membela diri.
 “Pendusta tak tahu malu! Kau pikir aku tak tahu bagaimana sedapnya daging babi panggang? Aku telah mencecapnya bertahun-tahun sebelum kau lahir ke dunia!”
 “Daging apa yang kau suguhkan, benatat tolol?”, pekiknya sambil melemparkan pinggan batu berisi daging sapi panggang ke mukaku. Belum sekejap pinggang batu itu menghajar wajahku tamparannya bertubi-tubi mendarat di kedua pipiku. Kemudian disusul pukulannya menyesakkan perutku.
 “Ada apa Yang Mulia Pun Beliau Pangeran? Apa salah dan dosa anak sikindua kepada Yang Mulia.” Ayahku menghambur dengan wajah cemas ke arah kami. Dirangkulnya aku dalam pelukannya.
 “Hei benatat tua, anakmu telah menipuku. Kuminta padanya sepinggan besar daging babi panggang tapi ia kelabui aku dengan daging sapi panggang. Ia gunakan bumbu yang sama tapi lidahku tak sebodoh yang ia kira!”, raung Umpu Betawang.
 “Wahai Yang Mulia Pun Beliau Pangeran Umpu Betawang, daging babi memang diharamkan dalam ajaran agama kami…”, Ayahku coba berkilah.
 “Dirimu dan anakmu-lah kini yang kuharamkan muncul dihadapanku. Enyahlah kalian anak beranak benatat!”, sembur Umpu Betawang dalam amarah serupa bara.
 Tanpa beruluk salam Ayahanda dan aku segera bergegas meninggalkan Sai Batin congkak itu. “Sebelum ia berubah pikiran memerintahkan pengawalnya mematahkan leher kita berdua”, bisik Ayahanda kepadaku.
 “Apakah yang kulakukan salah, wahai Ayah?”, tanyaku dengan nada suara bergetar.
 “Engkau sepenuhnya benar, Anakku. Sepatutnya seorang penganut Jalan Yang Lurus menjauhi segala hal yang diharamkan Allah Ta’ala, termasuk menghindari kontak fisik dengan daging babi, anjing dan kucing sekalipun hanya untuk memasaknya saja.”
 Aku mengangguk lemah mendengar perkataan Ayah. Rasanya diriku tak bergairah lagi hidup di negeri penyembah berhala ini. Padahal kedatangan kami hendak menyiarkan Jalan Yang Lurus belum lama dimulai. Baru beberapa purnama saja. Sementara Ayahanda tak henti menenangkan diriku agar bersabar menerima cobaan ini.
Langkah kaki kami berdua yang seirama meninggalkan Lamban Dalom Sekala Bgha justru tak sejalan dengan alam pikirku yang mulai bergerak liar. Tiba-tiba muncul amarah pada pangeran semena-mena itu. Amarah yang pelan-pelan berubah menjadi dendam. Dendam yang secara pasti bertukar wujud sebagai kesumat. “Takkan kubiarkan engkau berleha-leha dalam kedamaianmu. Tiada keraguan dalam hatiku hendak membuat perhitungan denganmu, wahai Betawang!”, dengusku dalam hati.

Di saat rembulan berwarna suram tanpa bintang, kugenapi rencanaku. Tanpa sepengetahuan Ayahanda, aku mengendap-endap menuju pohon suci Melasa Kepappang[5]. Nyaris tak bersuara kusadap getah beracun sebukau pohon aneh itu. Pohon raksasa ajaib bercabang dua sesembahan suku Tumi memang tak henti meneteskan racun dari salah sebuah cabangnya.
Sementara cabang lainnya juga terus menerus mengeluarkan penawarnya. Bersama getah sebukau kucampur pula bisa kalajengking hitam dan empedu kucing hutan. Semua itu kuramu dalam bumbu sup kepala kerbau kegemaran pangeran terbelakang nan congkak itu. Umpu Betawang tak menyadari bahwa makanan yang kusajikan untuknya di tengah hari yang terik itu akan menjadi perantara penentuan ajalnya. Ia makan dengan lahapnya. Bibirnya yang tebal dan gigi-giginya sewarna arang dipenuhi liur bercampur minyak.

“Betapa menjijikkan melihat wajahmu dengan penampilan kumuh dan jorok seperti itu, wahai Betawang. Engkau lebih pantas disebut lelaki hamba sahaya tak berkasta dibanding seorang pangeran terpelajar”, umpatku dalam hati.

Kurang dari satu tabuh canang kemudian terdengar lolongan menakutkan. Pangeran Umpu Betawang tiba-tiba menggelepar. Bola matanya mendelik menakutkan diikuti kedua tangannya coba menggapai cawan namun tak sampai. Secawan air tak sempat mampir di tenggorokannya yang serasa diisi bara api. Sebab sang ajal telah tiba mendahului. Beberapa kejap kemudian suami Ratu Sekeghumong itu pun menjelampah sambil tak henti memuntahkan darah hitam pekat.
Sekeghumong meraung mendapati suaminya meregang nyawa dengan cara menyedihkan.
Racun ramuanku telah bekerja dengan anggunnya.
Sesungguhnya setiap yang hidup pasti mati dan kembali kepada Allah.
Kala saksikan Pangeran Umpu Betawang menggelepar di lantai kayu, entah mendapat firasat darimana Ayahku langsung menyerbuku yang tengah berada di dapur.
“Apa yang telah kaulakukan kepada Pun Beliau, Anakku?”
Aku berlagak bodoh dengan mulut ternganga. Seolah-olah tak tahu menahu dengan kejadian yang baru saja terjadi.
“Jangan pura-pura bodoh! Kau campur dengan racun apa makanan Pun Beliau Pangeran? Kau telah merusak perjuangan awal kita disini.”
Kali ini Ayahanda meraung tumpahkan kesalnya padaku. Bibirku terkatup diam seribu bahasa.
Beliau betul-betul marah kepadaku. Aku tahu telah menyakiti hati Ayahanda tercinta dan mengecewakan hati beliau selaku pengikut setia ajaran Lelaki Mulia dan Terpuji.
“Engkau menggagalkan semua rencana kita, Nak!”
Perkataan Ayah merupakan akhir tualang kami di Negeri Sekala Bgha. Kami pun bergegas meninggalkan Lamban Dalom kerajaan purba itu sebelum Sekeghumong dan balatentaranya menyadari bahwa aku-lah pembunuh lelakinya.
Setelah kejadian yang mengecewakan hati Ayahanda Maulana Penggalang Paksi, kami berdua menjadi pelarian dan buruan kakitangan kerajaan. Kami tempuh hutan, gunung dan lembah demi selamatkan selembar nyawa dari ancaman mata pedang prajurit Ratu Penunggang Harimau.
Masih kuingat kala itu ketika kami harus singgah di Minanga, Sumur Batu, Muka-Muka, Melayu hingga Pagaruyung. Takkan kulupakan masa-masa itu saat kami harus berhadapan dengan suku-suku primitif penyembah berhala, pohon dan batu. Suku-suku peminum darah dan pemakan bangkai! Sekali lagi, Allah Yang Maha Penyayang masih memanjangkan dua lembar nyawa kami yang tak berharga ini.
Diam-diam selama pelarian, aku tak putus menyesali kebodohanku yang telah membuat Ayahanda terpukul. “Maafkan anakmu yang berpikir pendek ini, Ayah”, gumamku dalam hati. Memang, selama pelarian beliau jarang menegurku. Hanya sesekali mengingatkanku untuk sembahyang dan berburu ayam hutan atau ikan sungai untuk makan sehari-hari.
Hal ini menambah rasa bersalah dalam diri. Bertahun-tahun kemudian baru kutahu bahwa perilaku Ayah yang tak mau menegurku merupakan sejenis hukuman yang beliau timpakan kepadaku. “Engkau harus belajar menghargai keputusanku sebagai ayahmu, Nak”, ujarnya suatu petang belasan tahun setelah kejatuhan Sekala Bgha. Kusimpan baik-baik amanat Ayahanda dan meletakkannya dalam bilik terdalam ruang hatiku.
* * * * *
Ketauhilah wahai anak cucuku, bahwa seorang Nyekhupa hanyalah manusia biasa. Ia tak kekal dan akan mati pada suatu hari nanti. Munculnya kisah-kisah mistik seputar diriku perlu kalian ketahui dengan jelas. Tak baik kalian kunyah mentah-mentah cerita tentang diriku yang konon sanggup bertukar rupa dalam sekejap. Siapakah aku yang bisa melakukan perbuatan hebat selayaknya jin atau malaikat itu? Itulah hasil riwayat yang diturunkan secara sepotong-sepotong oleh para hamba sahaya yang kubebaskan semasa kekuasaan bengis Ratu Sekeghumong.
Mereka yang mengagumiku secara membutatuli dan menihilkan akal sehat. Sejatinya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang sungguh-sungguh tak memiliki kebisaan gaib bertukar rupa. Munculnya dongeng seputar diriku berawal dari kesukaanku berganti-ganti pakaian sekenanya layaknya rakyat jelata. Aku tak suka memakai pakaian serupa juru dakwah atau Tuan Guru. Bagiku penampilan bukanlah segalanya.
Keikhlasan hati dalam menyebarkan Risalah Allah adalah lebih utama dibanding wajah sok suci dan bersahaja. Aku pandai pula menyamar dengan mewarnai kumis dan cambangku dengan pacar merah darah. Kadangkala kudandani diriku seperti lelaki setengah baya. Semua itu adalah demi menghindari mata-mata kerajaan yang bergentayangan di seluruh penjuru negeri Sekala Bgha. Begitulah kisahku yang sebenarnya.
Tak ada lagi yang perlu ditutupi bagai rahasia sejagat. Hentikanlah riwayat yang sengaja dipelintir oleh segerombolan bekas hamba sahaya yang memujaku setinggi langit. Ingat-ingatlah wahai kalian anak cucuku bahwa pemujaan berlebihan kepadaku adalah serupa bid’ah dan syirik itu sendiri. Allah sendiri yang akan melaknat perbuatan manusia-manusia yang mendurhakai-Nya.

* * * * *
AKU telah beranjak tua dan tak lama lagi malaikat maut akan menjemput jiwaku. Ruhku akan bergabung bersama ruh-ruh para syuhada dan tabi’in yang telah mempersembahkan jiwa dan raga mereka demi tegaknya ajaran Jalan Yang Lurus. Insya Allah. Kini di usiaku yang telah mencapai 96 tahun apalah artinya hidup selain beribadah kepada Allah dan tak putus menyebarkan ajaran-Nya. Di usia sesenja ini aku sendirian disini, di Labuhan Maringgai tempat kami bertiga memutuskan menghabiskan umur dan meninggalkan Bumi Al Liwa demi menyinari tanah bumi lain dengan cahaya Ilahi.

Ayahanda telah berpulang ke rumah Allah sejak 40 tahun yang lalu. Sementara Pernong telah pula mendahuluiku menghadap Allah 29 tahun yang lalu. Ia berpulang pada usia yang tak lagi muda, 67 tahun. Sebuah penyakit hebat telah menyebabkan sekujur tubuhnya lumpuh, dan tak lama kemudian berpulang ke pangkuan Allah dengan seulas senyum yang mengharukan. Aku tersedak dalam haru. Mengingat diriku sendirian menghadapi ajal menjemput. Tiada lagi sanak saudara tempat kucurahkan isi hati dan segala tangis serta tawa. Hanya beberapa murid sebagai temanku yang datang dan pergi untuk mengaji Jalan Yang Lurus kepadaku.

Aku sendiri disini menunggu detik-detik perjumpaan dengan sang ajal. Belunguh dan Lapah di Way telah kembali ke Yatsrib lebih dari 55 tahun yang lalu. Itulah pertemuan terakhir kami dengan keduanya, dan sejak saat itu pula kami telah ikhlaskan bahwa kami takkan saling bercengkrama lagi untuk selama-lamanya.

Kami bertiga berpisah dengan keduanya pada suatu pagi yang cerah di Bumi Al Liwa. Bersamaan dengan itu pula kami tinggalkan istri masing-masing dan seluruh anak keturunan di bekas Ibu Negeri Sekala Bgha itu. Kami berlima adalah pejuang Risalah Allah di muka bumi ini. Tanah Bumi Al Liwa dan keberadaan orang-orang terkasih bukan penghalang bagi betapa lebarnya langkah kaki kami di kemudian hari. Kami tak bertanah air! Kami tak berkebangsaan!
* * * * *

Pada suatu pagi yang mendung usai sembahyang Duha, sesosok tubuh bercahaya dengan wajah mempesona menyapanya dengan senyum ramah kebapakan.
 “Salam kepadamu wahai pembela ajaran Allah di muka bumi. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang menunggumu di bilik Arasy.”
Saat didengarnya sapaan yang lemah lembut itu, ia pun mahfum bahwa Dia Yang Berkuasa atas alam raya dan segala isinya telah mencukupkan jalan hidupnya di dunia. Pelan-pelan nafas terakhirnya terdengar lirih. Lalu kalimat memuji kebesaran Allah terus berdengung sepenuh hati. Lamat-lamat terlihat cahaya putih bersih mengembang layaknya sinar matari yang redup. Sebuah dunia lain dari berlapis alam raya yang diciptakan Dia Yang Maha Pengasih mulai nampak didepannya.
Tak dapat ia tolak jasad rentanya tertinggal di bawah. Melemah, terbujur kaku dan akhirnya dingin membeku. Kemudian seperti kelebat, sosok tubuh bercahaya dengan wajah mempesona itu menarik ruhnya melayang ke atas meninggalkan dunia fana dan sedu sedan murid-muridnya terkasih di Labuhan Maringgai, pelabuhan terakhir hidupnya.
CERPEN Oleh :Muhammad Harya Ramdhoni

Hentian Kajang Malaysia-Branti, Mei-Juli 2011



[1] Sekala Bgha atau Sekala Brak merupakan kerajaan tua yang telah ada sejak tahun 100 SM di dataran tinggi Liwa, Lampung Barat. Masyarakat Sekala Bgha merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai gelombang pertama imigrasi Proto Melayu. Pendapat lain menyebutkan bahwa masyarakat Sekala Bgha telah ada jauh sebelum itu yaitu dengan bukti kuat ditemukannya situs megalitikum di Pekon Purawiwitan, Sumber Jaya, Lampung Barat. Kerajaan Sekala Bgha runtuh oleh pengaruh Islam yang dibawah Perserikatan Paksi Pak dari Peureulak Darussallam, Aceh dimana salah seorang di antaranya adalah Maulana Umpu Nyekhupa atau Imam Maulana Ibn Maulana Yamiza Rahmat tokoh utama dalam narasi cerita pendek ini.

[2] Ibu Kota Sekala Bgha pada masa berada di bawah pengaruh Hindu-Budha-Animisme.

[3] Beruk, bahasa Lampung Sai Batin.

[4] Semanda bermakna dalam sebuah ikatan perkawinan seorang lelaki diambil menjadi seorang suami seorang perempuan (biasanya perempuan tersebut adalah ratu yang mewarisi sebuah kerajaan) dan berfungsi sebagai penegak jurai dan penerus zuriat keturunan dari pihak istrinya. Istilah ini tidak berbeda dengan pola perkawinan matrilineal di Sumatera Barat. Namun masyarakat Lampung Sai Batin tidak hanya mengenal ikatan perkawinan semanda tetapi juga mengenal ikatan perkawinan yang disebutmetudaw dimana ikatan perkawinan yang terakhir ini merupakan kebalikan dari yang pertama.

[5] Kerajaan Sekala Bgha atau Sekala Beghak atau Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi mengagungkan sebuah pohon yang bernama Melasa Kepappang atau nangka bercabang dua. Satu cabangnya adalah nangka dan cabang lainnya adalah sebukau, yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Melasa Kepappang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya. Namun, jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Melasa Kepappang diagungkan oleh Suku Bangsa Tumi sebagai dewa mereka.
sumber : saliwanovanadiputra.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment