Sejarah Paksi Buay Jalan Diwai Kembahang
Sebagaimana telah dijalankan terdahulu, bahwa Paksi Pak Skala Brak. Paksi Buay Jalan Diwai tinggal di Puncak (desa Umbul LImau sekarang bernama Sukarame). Dipuncak inilah Umpu Buay Bejalan Diwai membangun kerajannya dengan raja yang pertama adalah Ratu Buay Bejalan Diwai, yaitu salah seorang dari kedua belas putra raja-raja di Pagaruyung dan salah seorang dari Paksi Pak Skala Brak.Ratu Buay Bejalan Diwai wafat dan dimakamkan di puncakdekat pemandian yang disebut Hamkembik, makambeliau hingga sekarang masih ada dan terawat dengan baik oleh Zuriat/turunan dari muda pusaka putra ke 4 empat dari ratu junjungan keturunan ke 8 sedangkan ham kembik pada saat ini telah menjadi sawah/ham yang diusahakan oleh Tamrin, yang juga masih Jurai Muda Pusake.
Setelah Ratu Buay Bejalan Diwai Wafat, beliau digantikan oleh putra Sulung Beliau Ratu Tunggal, kemudian ratu Tunggal simbang Negara digantikan Ratu Mangkudu Pahawang. Putra Sulung Ratu Mangkudu Pahawang Puyang Rakian menggantikan ayahendanya yang makamnya ada di Kuta Hara Bawang Liwa selanjutnya secara turun-temurun hingga turunan ke 8 yaitu Ratu Junjungan Kebuaian Buay Jalan Diwai menetap dan memerintah dipuncak.
Pada zaman pemerintahan Ratu Mejangau turunan ke 9 dusun puncak dipindahkan ke Negri Ratu Kembahang dan makam beliau di Negeri Ratu masih serta ada dipelihara oleh Zuriat / keturunan beliau. Demikian secara turun-temurun seperti yang dicantumkan dalam setamboom silsilah Marga Kembahang Paksi Buay Jalan Diwa tanpa terputus dipegang oleh keturunan lurus dari Ratu Buay Jalan Diwai. Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan dengan adanya surat-surat tua yang dimiliki serta surat-surat bersluit pengangkatan sebagai Pesirah kepala marga.
Adanya Pemerintah Marga di Kembahang yaitu dimulai dari turunan ke 12 yaitu Pangeran Nata Marga putra sulungnya Dalom Suluh Irung yang diangkat menjadi Kepala Marga dengan besluit compeni Inggris tanggal 13 Maret 1799 dimana pada waktu memerintah ada beliau membuat surat perjanjian dengan company Inggris yang ditulis dengan huruf melayu dan juga bahasa Inggris.
Putra sulung dari pangeran nata marga sebagai keturunan ke 13 adalah Pangeran raja di Lampung. Beliau ini belum sampai diangkat menjadi raja karena wafat dalam usia muda, tetapi kemudian putra sulung beliau bernama Raden Intan yang bergelar Pangeran Djaya Kesuma langsung menggantikan kakeknya Pangeran Nata Marga, seperti yang disebutkan/diterangkan dalam surat keterangan paduka tuan komisaris Coutroliur Kaur dan mamak tahun 1834, selanjutnya dikukuhkan dengan beslit tuan asistn Residen Van Bengkerden P. De Peres. 24 Desember tahun 1834 No. 439.
Pangeran Djaya Kesuma mempunyai 2 putra, yang sulung bernama bergelar Pangeran Paku Alam dan yang nomor 2 (yang muda) bernama Raden Mulaya, Pangeran Paku Alam tidak secara langsung mau menjadi kepala marga, karenanya pangeran Paku Alam belum mau pemerintah, maka saudara mudanya ditunjuk sebagai wakil Pesirah, dan bukan sebagai Pesirah hal ini dapat dilihat/dibuktikan pada beslit Raden Mulya tanggal 5 April 1864 No. 745/12. Pada tahun 1871 (7 tahun kemudian) jabatan kepala marga kembali dipegang oleh putra sulung pangeran Djaya Kesuma yang bernama pangeran paku alam dengan beslit residen van bengkulen ddo. 1 Agustus 1871 No.2109/54 diberi gelar Pangeran Nata Marga.
Selanjutnya putra sulung pangeran Paku Alam yang bernama DalomRaja Khalifah menggantikan ayahnya menjadi Kepala Marga dengan Beslit Sri Paduka Tuan Besar Residen Van Bengkulen ddo. 5 Mei 1881 No.2263, kemudian dengan beslit ddo.8 Januari No. 107/6 diberi gelar Pangeran Puspa Negara.
Salah satu saudara kandung beliau no. 3 bernama H. Bakaudin menjadi Kiayai/Ulama besar dimakamkan di Negeri Ratu, konon menurut cerita orang melihat makam beliau sering bersinar seperti ada lampu pada malam hari.
Dalam Nata Kesuma putra sulung dari Pangeran Puspa negara menggantikan ayahnya menjadi Kepala Marga pada tahun 1914 dan dengan beslit Sri Paduka Tuan Besar Residen Van Bengkulen ddo. 2 Juli 1931 No.262, Dalom Nata Kesuma diberi gelar Pangeran Jaya Kesuma II.
Pada masa pemerintahan Pangeran Jaya Kesuma II pada tahun 1933 terjadi gempa besar hingga banyak merobohkan rumah-rumah serta banyak menelan korban jiwa. Atas adanya musibah tersebut maka Pangeran Djaya Kesuma II memindahkan rumah adat (gedung dalom) dari desa negeri Ratu Kembahang ke Simpang yang sekarang dikenal dengan nama Desa Kembahang, begitu juga keluarga raja adat/Saibatin yang juga disebut Kampung Batin mengikuti pindah ke Kemahang.
Pangeran Djaya Kesuma II tidak dikaruniai anak laki-laki tetapi 2 orang anak perempuan, yang tua bernama Siti Asma Dewi dan yang muda bernama Djarifah.
Putri tertua Pangeran Djaya Kesuma diambilkan suami yaitu anak kedua Pangeran Buay Nyerupa Sukau yaitu Nasrun Abdul Majid dengan beslit Paduka Tuan HPB. Van Krac di Liwa ddo 23 September 1936 No. 81 diangkat menjadi Depati Mangkoe dengan gelar Suttan Djaya Indra, kemudian dengan besluit Residen Bengkulen tanggal 28 Juli 1938 diakui sebagai Kepala Marga.
Berdasarkan adat turun-temurun maka sebagai keturunan lurus ke 18 dari Paksi Buay Jalan Diwai adalah Siti Asma Dewi dengan gelar Ratu Kemala Jagat yang sekaligus pemegang kekuasaan adat dalam Marga Kembahang Paksi Buay Jalan diwai, hal ini disebabkan di dalam tatanan adat Paksi Pak Skala Brak berlaku adat Saibatin lulus Kawai. Sedangkan suami beliau walaupun telah diakui sebagai kepala marga, tetapi kedudukan dalam adat adalah Semanda.
Sejak tahun 1969, putra sulung Siti Asma Dewi bernama Azrim Effendi Puspa Negara merupakan keturunan lurus ke 19 buay Bejalan Diwai menggantikan ibundanya sebagai Raja Adat/Saibatin Paksi Buay Bejalan Diwai dan bergelar Sutan Jaya Kesuma III.
Putra sulung Suttan Jaya Kesuma bernama selayar Akbar Puspa Negara SE, telah dipersiapkan untuk menggantikan ayahandanya sebagai Raja Adat/Saibatin Buay jalan di Way Keturunan lurus ke 20.
sumber : saliwanovanadiputra.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment